Perjanjian dalam Hukum Islam

Nama : Jesica Lestari
NIM :1153060031
Kelas : HPI VII A
 


Tanggal 29 oktober 2018


Tugas ini diajukan untuk memenugu salah satu tugas Ujian Tengah Semester pada matakuliah sosiologi dan antropologi hukum
Dosen pengampu : Dr. H. Beni Ahmad Saebani, M.Si

Perjanjian dalam Hukum Islam
A.      Pengertian
Menurut Abdulkadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangangan harta kekayaan[1]. Dalam hokum islam perjajian adalah akad. Akad berasal dari Bahasa arab, aqad, artinya ikatan atau janji (‘ahdun). menurut wahab aljalai, akad adalah ikatan antar dua perkara, baik dalam ikatan nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi ataupun dari dua segi.
جمع طرفي حبلين و يشذّ احدهما بالأخر حتى يتصلا فيصبحا كقطعة واحدة
Artinya: “mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda”. [2]
Akad adalah segala sesuatu yang dilandaskan dengan perkataan antara dua pihak atau lebih melalui proses ijab dan Kabul yang di dasarkan pada ketentuan hokum islam yang memiliki akibat hokum kepada para pihak dan objek yang diperjanjikan. [3]
Dengan demikian definisi yang di paparkan di atas ada persamaan, dimana persamaan tersebut adalah kesepakatan untuk berjanji antara satu orang dengan seorang lainya. Dengan begitu dalam setiap perjanian atau akad akan timbul hak dan kewajiban pada dua sisi. Maksudnya, pada satu pihak ada hak untuk menuntut sesuatu dan pihak lain menjadi kewajiban untuk memenuhinya. Sesuatu itu adalah prestasi yang merupakan hubungan hukum yang apabila tidak dipenuhi secara sukarela dapat dipaksakan, bahkan melalui hakim.
Karena merupakan suatu hubungan, maka suatu akad (perjanjian) dapat timbul karena perjanjian, yakni dua pihak saling mengemukakan janjinya mengenai perstasi. Misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain.
Akad yang terjadi dalam hokum islam dibentuk oleh rukun dan syarat-syarat yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Rukun akad adalah jiab dan Kabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama yang menetapkan kesepakatan bertrasaksi dengan pihak ke dua, baik dalam proses penyerahan objek akad maupun penerimaannya. Adapun Kabul adalah jawaban dari kedua belah pihak yang menyatakan saling menerima dengan ikatan yang di lakukan yang berpegang penuh pada perinsip saling merelakan atau dalam Bahasa al-quran prinsip an taradin.[4]
B.       Unsur-Unsur
Pembentukan akad di penuhi oleh unsur unsur berikut :
a.       Shigat akad yaitu sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukan isi hati keduanya tentang terjadinya akad, yang di tunjukan secara lisan, tulisan, perbuatan dan isyarat.
b.      Tekhnik pengucapan sighat
Teknik pengucapan atau metode dalam berijab Kabul yaitu : akad dengan lafadz (ucapan), isi lafazh, akad dengan perbuatan, akad dengan isyarat, akad dengan tulisan.
c.       Persyaratan akad
Persyaratan dalam berakad atau ijab Kabul adalah sebagai berikut :
a)      Bahasa yang di gunakan harus jelas dan di pahami oleh kedua belah pihak
b)      Harus bersambung atau saling mengetahui kesepakatan yang sedang dilaksanakan.
c)      Dilakukan dengan itikad baik dari keduanya.
d)      Kedua belah pihak berada di tempat yang sama, arau di tempat yang berbeda namun sebelumnya telah disepakati kedua belah pihak.
d.      Batalnya ijab
Ijab dianggap batal dalam hal hal berikut :
a)      Pengucap ijab menarik pernyataan sebelum Kabul.
b)      Adanya penolakan dari salah satu yang mengadakan akad.
c)      Berakhirnya tempat akad
d)      Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia sebelum terjadinya akad.
e)      Objek akad rusak sebelum akad berlangsung.[5]
e.       Subjek akad
Subjek akad adalah sebagai berikut :
a)      Al-aqid (orang yang akad)
b)      Al-wilayah (kekuasaan)
c)      Mahal aqd (al- ma’qud alaih)
d)      Perinsip berakad

C.       Asas asas berakad  
a)      Asas Ibahah (mabda’ al-Ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum hukum islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam andigum:
الاصل في المعاملة الاباحة حتى يدل على دليل لتحريم
Artinya: Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.
Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas: “Bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syari’ah”.
b)      Asas Kebebasan Beraqad (mabda’ huriyyah at-ta’aqud)
Hukum islam mengakui kebebasan beraqad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat aqad atau jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syari’ah dan memasukan klausula apa saja ke dalam aqad yang dibuatnya sesuai dengan kepentinganya sejauh tidak berakibat makan harta sesame dengan batil. Namun demikian, di lingkungan madzhab-madzhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai luas-sempitnya kebebasan tersebut. Nas-nas Al-Qur’an dan Sunah Nabi saw. serta kaidah-kaidah hukum islam menunjukan bahawa hukum islam menganut asas kenbebasan berkontrak (aqad). Asas kenbebasan beraqad ini merupakan konkritisasi lebih jauh dari sepesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibadah dalam mumalat.
c)      Asas Konsensualisme (mabda’ ar-radhaiyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hadis Nabi
أخبرنا الحسن بن سفيان أخبرنا سعيد بن عبد الجبار أخبرنا الدراوردي عن داود بن صالح بن دينار التمار عن أبيه عن أبي سعيد الخدري : أن يهوديا قدم زمن النبي صلى الله عليه و سلم بثلاثين حمل شعير وتمر فسعر مدا بمد النبي صلى الله عليه و سلم وليس في الناس يومئذ طعام غيره وكان قد أصاب الناس قبل ذلك جوع لا يجدون فيه طعاما فأتى النبي صلى الله عليه و سلم الناس يشكون إليه غلاء السعر فصعد المنبر فحمد الله وأثنى عليه ثم قال : ( لا ألقين الله من قبل أن أعطي أحدا من مال أحد من غير طيب نفس إنما البيع عن تراض ولكن في بيوعكم خصالا أذكرها لكم : لا تضاغنوا ولا تناجشوا ولا تحاسدوا ولا يسوم الرجل على سوم أخيه ولايبيعن حاضر لباد والبيع عن تراض وكونوا عباد الله إخوانا )
d)      Asas Janji Mengikat
e)      Asas Keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al-mu’awadhah)
Secara factual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transasksi (antara apa yang diberikan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkanya suatu aqad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara krditor bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negative.
f)       Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan)
Asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa aqad yang akan dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian atau keadaan yang memberatkan. Apabila dalam pelaksanaan aqad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak yang bersangkutan sehingga memberatkanya, maka kewajibanya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.
g)      Asas Amanah
Asas Amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritiqad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat sepesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditansaksikan, pihak lain menjadi mitra tarnsaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya.
h)      Asas Keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum islam, keadilan langsung merupakan perintah al-qur’an (QS. 5:8). Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman modern aqad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausula aqad tersebut, karena klausula aqad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaanya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu.[6]
D.      Contoh Perjanjian (aqad) dalam Hukum Islam
Contoh perjanjian atau perikatan yang sahih adalah:
1.      Al-Ba’i (jual beli)
2.      Hawalah (pemidahan hutang)
3.      Syirkah (perkongsian)
4.      Mudharabah (Kerjasama bagi hasil)
5.      Wakalah (perwakilan)
6.      Dhaman (Garansi)
7.      Ijarah (sewa-menyewa)





E.       Perjanjian atau perikatan yang diharamkan oleh Syar’i, diantaranya:
1.      Dua aqad dalam suatu perdagangan
Dua aqada dalam satu perdagangan diharamkan, sesuai dengan hadis nabi:
نهى النبى صلى الله عليه و سلم عن بيعتين في بيعه
(HR. An-Nasai dan Tirmidzi)
Hadis ini yang menyatakan bahwa pengharaman dua aqad dalam satu transaksi jual beli.
2.      Tambahan syarat diberikan untuk penjualan

نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن بيع و شرط
(HR. Tibrani)
Rasulullah saw. Melarang membubuhkan syarat tambahan dengan aqad penjualan”. Aqad jual beli tidak boleh dicampur aduk dengan syarat persetujuan.
3.      Perdagangan al-Mulamisah dan Al-Munabihah

نهى رسول الله ص.م عن ملامسة و المنابذة
(HR. Al-Bukhari)
Rasulallah melarang aku untuk menjual sesuatu yang bukan milikiku atau menjual sesuatu yang tidak jelas dan tidak tampak secara nyata.
4.      Penjualan yang bukan haknya
نهى رسول الله ص.م أن بيع ما ليس عندى
(HR. At-Tirmidzi)
Rasulallah melarang aku menjual sesuatu yang bukan miliku
5.      An-Najasy

نهى رسول الله ص.م عن النجش
(HR. Al-Bukhari)
Rasulallah melarang jual beli dengan barang yang najis.
6.      Talaq Rukban

نهى رسول الله ص.م عن تلق الركبان
(HR. Al-Bukhari)
Rasulallah melarang pergi ke kampong dan menemukan kafilah dagang dengan maksud menipu perfagangan kampng itu dengan harga yang terlalu murah.
7.      Bai’ Hadir libadi

نهى رسول الله ص.م ان بيع حاضر لباد
(HR. Al-Bukhari)
Rasulallah melarang penduduk desa bertindak menipu sebagaimada seseorang yang memaksakan agen untuk menjual dan membeli dari penduduk kampung yang sederhana.
Hadis ini menunjukan dua model transaksi dengan ketrampilan menipu penduduk desa yang banyak saudagar kaya di kota tersebut yang dapat ia jual dengan mudah. Akan tetapi, untuk mendapatkan keuntungan besar mengambil komoditas untuk menjual di kampung-kampung walaupun penduduknya kurang baik dalam kebutuhan barang-barang yang diperdagangkan. Kedua, dia berikhtiar untuk menghentikan perdagangan langsung antar penduduk kota dan penduduk kampung, dan menjadi agen memaksakan diri atas nama penduduk kampung dan membeli komoditas atas nama harga yang lebih tinggi karena harta yang ditekan.
Uraian-uraian tentang Hukum perikatan atau perjanian yang timbul akibat adanya hubungan antar individu dan antar masyarakat, tidak dimaksudkan mencampuradukan kajian antropologi hokum dan hokum perikatan atau perjanian, tapi dilihat dari pandangan bahwa manusia sebagai makhluk social, akibat perbuatan tersebut melahirkan hokum perikatan.
Perikatan yang terjadi dalam kehidupan mayarakat merupakan bagian dari kajian antropologi hokum apabila dilihat dari proses pembentukan budaya hokum yang muncul akibat adanya transaksi antar manusia.misalnya perdagangan atau transaksi jual beli. Pada masa lalu, jual beli di lakukan dengan system barter, yaitu tukar menukar barang. Contoh : si A memiliki kelapa dan membutuhkan beras, sedangkan si B memiliki beras dan membutuh kan kelapa , maka dari itu antara si A dan si B melakukan tukar menukar (barter) kedua barang tersebut.
Setelah diciptakan alat tukar berupa uang, jual beli mulai berubah sistemnya, yaitu menukar barang dengan uang. Pertukaran antara barang yang berbeda, dan barang dengan uang sebagai alat tuker resmi, berkaitan dengan perubahan kebudayaan, artinya berubah pola pikir dan pola hidup suatu masyarakat dan bangsa, terutama pandangan untuk mencaei dan menetapkan system jual beli yang efektif. Dan masih banyak lagi contoh perjanjian atau akad yang berubah. [7]
Dengan demikian, perilaku hokum masyarakat tidak selalu menujuk secara mutlak tekstualistik dan literature pada wahyu, karenanya teks teks yang ada kemungkinan masih bermakna global, bermakna ganda interpretative, memerlukan penafsiran. Secara antropologis, prilaku manusia tidak semuanya murni prilaku dirinya, tapi melalui silaturahmi social, silaturahmi primordial, dan silaturahmi intelektal.
Hukum perjanjian dalam prespektif islam sebetulnya tidak jauh berbeda dengan hukum pejanjian yang termuat dalam Kitab undang-undang hukum perdata (KUHAPerdata). Dalam hukum perjanjian islam lebih menekankan pada aspek teologis sehingga aturan-aturan dalam hukum perjanjian ini mengacu pada al-Qur’an dan Hadis. Hukum perjanjian ini seyognyanya bisa direalisasikan dengan menyesuaikan dengan perjanjian-perjanjian yang berlaku di Negara Indonesia.
Hadis Nabi:
اربع من كنّ فيه كان منافقا خالصا ومن كانت فيه خصلة منهنّ كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها : اذا حدث كذب و اذا وعد اخلف و اذا عاهد غدر واذا خاصم فجر
Artinya: Perkara empat, barang siapa yang memiliki seluruhnya dalam keperibadianya maka dia adalah munafik sejati. Dan barang siapa mempunyai salah satu dari padanya maka dia mempunyai keperibadian munafik sehingga ditinggalkanya: Bila berbicara, bohong. Bila berjanji, menyalahinya. Bila mengadakan persetujuan terhadap suatu masalah, cidra. Bila berbantahan, berkata jelek”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian sebagai seorang muslim harus menepaji janji-janji baik yang berhubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.
Makalah ini sekedar memberitahukan bagaimana hukum islam mengatur dalam urusan perjanjian. Sehingga menambah wawasan yang luas.




[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan  (Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1990), hlm. 78.
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Mumalah: Membahas Ekonomi Islam Kedudukan Harta, Hak Milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain, cet. V (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.44.
[3] Beni ahmad saebani dan encup supriatna, antopologi hukum .cet. 2 (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2017) hlm. 237
[4] Beni ahmad saebani dan encup supriatna, antopologi hukum .cet. 2 (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2017) hlm. 237

[5] Beni ahmad saebani dan encup supriatna, antopologi hukum .cet. 2 (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2017) hlm. 239

[6] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 92.
[7] Beni ahmad saebani dan encup supriatna, antopologi hukum .cet. 2 (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2017) hlm. 250

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Surat Edaran, Peraturan Mentri, Dan Undang-Undang